Jakarta, Humas Media – Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial riuh soal jemaah haji. Bukan karena tragedi, bukan pula karena prestasi. Melainkan karena penampilan nyentrik jemaah haji Makassar turun dari pesawat yang bikin pangling dengan gaun mewah dan emas yang berlapis.
Dalam salah satu unggahan akun TikTok Solopos Official memperlihatkan bahwa sebanyak 392 jemaah haji kloter dua Deberkasi Makassar tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Kamis 12 Juni 2025. Para jemaah asal Kota Makassar dan Kabupaten Pinrang ini disambut langsung oleh Bupati Pinrang, Andi Irwan Hamid dengan hangat di Asrama Haji Sudiang.
Kedatangan Jemaah asal Pinrang menarik perhatian karena sebagian dari mereka, khususnya Jemaah perempuan mengenakan busana mencolok lengkap dengan perhiasan warna emas make-up tebal, dan senyum lebar. Seketika momen yang terekam tersebut viral di media sosial.
Rupanya, gaya berpakaian tersebut merupakan bagian tradisi khas masyarakat Bugis Pinrang. Perhiasan dan kebaya bermotif mewah sudah menjadi budaya turun-temurun dalam penyambutan haji pulang dari tanah suci.
Disisi lain, beberapa Jemaah mengaku perhiasan yang mereka gunakan bukan dari emas asli, melainkan aksesoris yang beli di Madinah. Dan total biaya penampilan itu pun dinilai tidak terlalu mahal, yakni sekitar Rp. 1.500.000 rupiah.
Baca Juga: Satu Abad Pers Revolusioner Vietnam: Wartawan Juga Prajurit
Hal tersebut menimbulkan opini publik yang berbeda-beda. Sebagian netizen menyambutnya sebagai bentuk ekspresi budaya yang sah-sah saja, bahkan memuji semangat dan kekompakan para jemaah dalam melestarikan tradisi leluhur.
Tapi tidak sedikit pula yang mengkritik penampilan tersebut sebagai bentuk pamer berlebihan, yang tidak mencerminkan ruh ibadah haji yang sejatinya sarat kesederhanaan, keikhlasan, dan ketundukan di hadapan Allah.
Pertanyaannya, ketika seseorang baru saja pulang dari ibadah yang disebut Rasulullah sebagai “jihad tanpa senjata” mengapa yang pertama kali ditonjolkan adalah kemewahan penampilan, bukan keindahan akhlak? Apakah ini bentuk kegembiraan yang dibolehkan, atau justru kemunduran spiritual setelah berhaji?