Tradisi Haji atau Eksibisionisme?
Tak bisa disangkal, tradisi penyambutan jemaah haji di berbagai daerah Indonesia memang beragam. Di sebagian wilayah Bugis dan Makassar, penampilan mencolok dianggap bentuk penghormatan terhadap mereka yang telah menunaikan rukun Islam kelima. Perhiasan, baju adat mewah, bahkan iring-iringan musik, menjadi bagian dari budaya yang diwariskan turun-temurun.
Namun, penampilan mencolok ini memicu gelombang reaksi sosial. Banyak netizen langsung menuding sang jemaah sebagai pamer harta sepulang haji. Di sisi lain, sebagian jemaah menegaskan bahwa itu adalah tradisi kegembiraan.
Kondisi inilah yang membuat pihak berwenang angkat bicara: MUI Sulsel mengimbau agar para jemaah membatasi kemewahan saat pulang haji dan kembali kepada kesederhanaan. Juga Kementrian Agama (Kemenag) Sulawesi Selatan pun mendorong petugas haji mengimbau agar jemaah pulang mengenakan pakaian batik haji yang lebih sederhana.
Kepala Kemenag Sulsel menyebut bahwa masyarakat umum mungkin menganggap gaya berpakaian glamor itu riya, sementara para jemaah menganggapnya sebagai cara memuliakan ibadah haji. Debat ini menunjukkan bagaimana penampilan mencolok dapat memengaruhi persepsi publik, ada kekhawatiran bahwa esensi haji tersisih oleh citra duniawi.
Dalam Islam, tidak ada larangan memakai perhiasan atau berpakaian bagus. Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim).
Namun, syariat juga memberi batas tegas antara keindahan dan tabarruj, yakni berdandan berlebihan dan menarik perhatian secara mencolok di ruang publik. Dalam konteks ini, Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menafsirkan ayat tentang tabarruj:
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33). Menurut tafsiran beliau, yang dilarang adalah tampilan yang mengandung unsur pamer, ujub, atau bertujuan mendapatkan pujian manusia.