Jakarta, HUMAS MEDIA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar merupakan putra kelahiran Bone, Sulawesi Selatan. H Andi Muhamad Umar, orang tua Menteri Agama merupakan guru bantu di kampung halaman pada Sekolah Rakyat. Pengabdian pada kampung halaman tanpa gaji.
Prinsip yang menjadi pegangan Andi Muhammad Umar yakni menanam nilai luhur tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan semangat pantang menyerah. Andi Muhammad Umar pernah hijrah ke Tanah Jawa, yakni Surabaya, Jawa Timur saat terhimpit kesulitan. Ia menjadi buruh pelabuhan.
Namun aktivitas buruh pelabuhan itu tidak lama lantaran Andi Muhammad Umar memutuskan kembali ke kampung saat ada kesempatan mengisi kekosongan guru. Ini pelajaran nyata tentang dedikasi dan tanggung jawab.
“Jangan balas dendam secara fisik, jika ingin membalas, balaslah dengan menempuh pendidikan, bersekolah,” pesan itu berulang kali terngiang di telinga Nasaruddin kecil.
Andi Muhammad Umar pun seorang nasionalis yang merupakan salah satu perintis Gerakan Pemuda Ansor di Sulawesi Selatan. Darah aktivis ini mungkin mengalir deras pada Nasaruddin.
Masa kanak-kanak Nasaruddin di Ujung Bone menjadi saksi bisu bagaimana nilai-nilai agama mulai merasuki jiwa Nasaruddin. Ia menimba ilmu agama sore hari di Madrasah As’adiyah Cabang 7, dengan sistem “Massikola Ara'” yang unik. Setelah pagi diisi dengan pelajaran umum.
Di sanalah, benih-benih kecerdasan dan ketertarikan Nasaruddin pada dunia spiritual mulai tumbuh.
Nasaruddin muda pernah bercita-cita menjadi mantri di kampungnya. Hal itu muncul terinspirasi dari sosok paman. Namun, mata seorang alim dan bijak, KH. Muh. Amin, melihat potensi yang lebih besar dalam diri Nasaruddin.
Saran untuk melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren As’adiyah menjadi titik balik dalam hidupnya. Di pesantren inilah, bakatnya dalam bidang keagamaan berkembang pesat, mengungguli teman-teman sebayanya.
Jejak kehidupan Nasaruddin tidak juga mulus seperti sepanjang jalan Sudirman, Jakarta. Kisah pilu masa kecil pernah dirasakan, seperti pengalaman pingsan dua hari pasca dikhitan akibat keterbatasan ekonomi keluarga.
Namun hal tersebut tidak menjadi penghalang untuk terus menimba ilmu. Sebaliknya, justru, kesulitan itu menempa mentalnya menjadi pribadi yang kuat dan memiliki empati mendalam terhadap sesama. “Assikolaki nak mancaji tau,” (sekolah nak, agar jadi orang), pesan sederhana dari kedua orang tuanya, menjadi mantra yang mengantarkan Nasaruddin Umar meraih gelar demi gelar, baik di dalam maupun luar negeri.
Perjalanan hidup Prof. KH. Nasaruddin Umar tak hanya berkutat di dunia pesantren dan akademisi. Pengalamannya mendampingi dua mantan presiden, SBY dan Prabowo, memberikan perspektif yang luas tentang dinamika kepemimpinan nasional. Bahkan, uluran tangan Prabowo saat ia menempuh pendidikan di luar negeri menjadi bukti adanya jalinan persahabatan dan dukungan lintas batas.
Kini, di kursi Menteri Agama, Nasaruddin Umar membawa serta seluruh pengalaman dan nilai-nilai yang telah tertanam dalam dirinya sejak kecil. “Para anak-anakku santri, tidak boleh tunduk dengan keadaan, seberapapun berat dan sulitnya. Kita harus tetap berjuang,” ujar Menag Nasaruddin Umar saat bertemu para santri di Pondok Pesantren Al Ikhlas Ujung Bone, Sulawesi Selatan, Senin (7/4/2025).
Pondok Pesantren Al Ikhlas yang didirikannya, dengan visi mencetak pemimpin bangsa dan dunia yang berwawasan global, adalah manifestasi dari cita-cita luhur sang ayah untuk melihat generasi penerus meraih pendidikan setinggi mungkin. Dengan 15 cabang yang tersebar di Indonesia, pesantren ini menjadi oase pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai agama, kebangsaan, dan teknologi.
Menag Nasaruddin Umar juga bertekad untuk menjadikan pesantren sebagai garda terdepan dalam mempertahankan tradisi ke Indonesiaan dan mengarusutamakan moderasi beragama adalah wujud nyata dari perjalanan hidupnya yang panjang.