Reformasi 1998 bukanlah sekadar transisi kekuasaan. Ia adalah ledakan amarah sejarah. Era hasil akumulasi dari represi, korupsi, dan kesenjangan yang menyesakkan rakyat selama lebih dari tiga dekade.
Semangat Reformasi 1998 menjadi tonggak perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Reformasi membawa janji perubahan terhadap supremasi sipil, demokrasi yang substansial, juga penghentian kekuasaan absolut yang tak tersentuh hukum.
Namun dua dekade lebih setelahnya, kita menyaksikan paradoks yang sangat menyesakkan. Di era pasca-reformasi wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat.
Kronisnya, hal tersebut menyuruh kita untuk menengok kembali luka lama. Pemuliaan nama Soeharto ini menimbulkan ironi tersendiri yang memerlukan penjelasan kritis.
Benarkah seorang pemimpin otoriter yang mematikan demokrasi layak disebut pahlawan?
Soeharto bukan sekadar pemegang tahta presiden terlama di Indonesia. Ia adalah arsitek dari sebuah sistem kekuasaan yang dibangun di atas darah, ketakutan, dan kebungkaman. Dari penelitian Robert Cribb (1990) dan data Amnesty International (1977), Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pasca pembantaian 1965-1966 yang menewaskan ratusan ribu jiwa yang dicap komunis.
Setelah itu ia membangun rezim otoriter yang menjadikan kekerasan sebagai instrumen rutin Negara.
Penyiksaan, penghilangan paksa, sensor media, pembungkaman oposisi, dan operasi militer di Timor Timur, Aceh, serta Papua adalah pemandangan sehari-hari negara selama Era Orde Baru. Segala protes atau penyimpangan pendapat yang berseberangan di luar jalur resmi cepat dibungkam.
Sampai pada tahun 1997-1998, 23 aktivis diculik, satu tewas, dan 13 masih hilang hingga sekarang. Rezim ini tidak hanya membungkam perbedaan pendapat, tetapi juga menjadikan militer sebagai aktor dominan dalam kehidupan sipil.
Kekuasaan Soeharto tidak dibangun atas persetujuan, tetapi atas rasa takut dan ketidakberdayaan. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) bahwa bagaimana kekuasaan modern bekerja melalui pengawasan dan kontrol tubuh.
Lebih jauh, politik Orde Baru juga menganut sistem patronase. Gerry Van Klinken dalam bukunya berjudul Demokrasi Patronase Indonesia di Tingkat Provinsial (2014) mengartikan demokrasi patronase sebagai demokrasi dimana Negara memiliki monopoli relatif atas pekerjaan dan jasa, dan di mana para pejabat terpilih memiliki diskresi (ruang gerak) signifikan dalam pelaksanaan hukum untuk mengalokasikan pekerjaan-pekerjaan dan jasa-jasa itu sebagai pemberian negara.
Oleh karena itu, di samping melanggengkan praktik-praktik korupsi, patronase juga merupakan ancaman bagi demokrasi. Sebab demokrasi elektoral patronase mempertaruhkan pertukaran keuntungan demi memperoleh dukungan politik. Hal ini terlihat dari anak-anak dan kroni Soeharto yang membangun kerajaan bisnis berkat kedekatan mereka dengan penguasa atau presiden.
Dari paparan berikut, rezim Orde Baru digambarkan secara tajam sebagai rezim biadab, rezim anti kemanusiaan yang memproduksi banyak korupsi, perampokan, dan perampasan hak orang lain. Dan dari praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) inilah yang membuat kekuasaan Orde Baru dirasakan bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang bersih dan terbuka.