Keberhasilan Semu Orde Baru
Kebijakan ekonomi Orde Baru sering disebut sukses. Banyak yang mencoba membenarkan Soeharto dengan menunjuk pada pembangunan infrastruktur, stabilitas ekonomi dan swasembada pangan di era 1980-an. Namun, klaim kesuksesan ini layak untuk dipertanyakan secara kritis.
Pertama, benar bahwa pembangunan infrastruktur dan industri Orde Baru terjadi secara besar-besaran. Namun, hal ini hanya terpusat di Jawa dan hanya menguntungkan kaum elite. Investasi publik diarahkan ke pembangunan daerah strategis, infrastruktur, dan industri substitusi impor.
Tapi yang mendapat manfaat utama adalah kroni dan kerabat Soeharto. Pola pembangunan ini bersifat eksploitatif, misalnya berpusat pada konsesi hutan dan tambang. Parahnya lagi, dibalik pembangunan infrastruktur tersembunyi praktik korupsi yang sistemik.
Pembangunan hanya sebagai mitos yang diperlihatkan lewat baliho, film propaganda, dan pidato presiden, sementara di bawahnya petani digusur, hutan dibabat, dan buruh dibungkam. Sehingga menyebabkan laju pertumbuhan jangka pendek diperoleh dengan mengorbankan pemerataan dan kelestarian sosial ekonomi banyak rakyat.
Kedua, stabilitas ekonomi yang dibanggakan dibayar dengan represi brutal dan matinya demokrasi. Serta swasembada pangan yang diagung-agungkan tidak berlangsung lama.
Pertumbuhan ekonomi Orde Baru memang menurunkan kemiskinan. Dari separuh penduduk di bawah garis kemiskinan tahun 1960-an terpangkas menjadi ~11% pada 1996. Namun hasilnya tidak merata.
Sebab kebijakan ekonomi diambil oleh kelompok elit kecil yang dekat dengan penguasa. Dampaknya, sebagian besar rakyat biasa terutama di luar Jawa tidak merasakan manfaat sesungguhnya. Pola ini memperlebar kesenjangan antara golongan atas dan golongan bawah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1980-an sangat bergantung pada utang luar negeri dan rente sumber daya alam. Model ini runtuh saat krisis 1997-1998. Di era Soeharto, Indonesia menarik banyak pinjaman asing. Hal ini menciptakan ketergantungan fiskal yang parah. Sebab data Bank Dunia menunjukkan, utang Indonesia melonjak dari USD 6 miliar tahun 1970 menjadi lebih dari USD 60 miliar akhir tahun 1990.
Saat krisis keuangan Asia melanda, Indonesia menjadi Negara yang paling terpuruk. Nilai rupiah anjlok, kerusuhan mengguncang Jakarta, ribuan gedung hancur, dan lebih dari seribu orang tewas dalam kerusuhan Mei 1998.
Dari krisis ini menjadi tanda bahwa mitos stabilitas ekonomi dan swasembada pangan pada rezim Orde Baru tumbang. Hal ini menjadi cikal bakal sebab lengsernya Soeharto. Dan Transparency International mencatat Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan perkiraan korupsi senilai 15-35 miliar dolar. Maka keberhasilan yang sering dirujuk itu adalah menara pasir yang rapuh, tidak adil, dan dibangun di atas penindasan.