3 Prinsip Utama Penggunaan Teknologi AI
Tholabi menegaskan penggunaan tekonologi AI dalam pendidikan harus diiringi tiga prinsip utama, yakni: shiddiq (kejujuran), amanah (tanggung jawab), dan al-‘adl (keadilan).
Ia mencontohkan langkah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang telah mewajibkan mahasiswa mengisi AI disclosure form dalam setiap tugas. “Mahasiswa harus transparan, menjelaskan seberapa jauh AI digunakan dalam karya akademiknya,” jelasnya.
Prinsip amanah, menurut dia, juga penting agar mahasiswa tetap memahami substansi karya yang dihasilkan, meski menggunakan bantuan AI. Sedangkan keadilan menuntut akses yang setara terhadap teknologi ini. “Tidak semua mahasiswa mampu membeli layanan AI premium. Maka sudah saatnya kampus berpikir menyediakan fasilitas ini secara merata, misalnya melalui program ‘AI for All’,” tambahnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kata Tholabi, menjadi salah satu pelopor integrasi nilai Islam dalam pengembangan AI. Melalui Artificial Intelligence and Literacy Innovation Institute (ALII), kampus ini mengembangkan program riset dan pelatihan yang mengajarkan literasi AI berbasis etika keislaman.
“Teknologi harus diarahkan pada maqāṣid al-syarī‘ah, bukan sekadar kemajuan teknis. Di ALII, kami mengajarkan tidak hanya cara pakai AI, tapi juga cara berpikir etis dan bertanggung jawab terhadap penggunaannya,” ujar Tholabi yang juga salah seorang pimpinan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Ia menyoroti bahwa pendidikan berbasis AI hanya akan bermakna jika dibarengi dengan karakter moral. “AI itu cermin. Jika karaktermu jujur dan amanah, ia akan jadi berkah. Tapi jika tidak, ia bisa jadi bencana.”
Di akhir perbincangan, Tholabi menegaskan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengaburkan misi dasar pendidikan, yakni membentuk akhlak mulia. “Pesan Rasulullah sangat relevan bahwa risalah utama kenabianya adalah untuk menyempurnakan akhlak. Itu tidak berubah, bahkan di tengah gelombang digitalisasi.”
“Teknologi boleh canggih. Tapi akhlak harus tetap mulia. Karena pada akhirnya, bukan AI yang menentukan arah peradaban, tapi manusia yang mengendalikan AI itu sendiri,” pungkasnya.