Esensi Haji: Keikhlasan dan Kesederhanaan
Ibadah haji adalah perjalanan spiritual yang menuntut pengorbanan lahir dan batin. Dalam ritual ihram, semua Jemaah raja maupun rakyat biasa disamakan dalam balutan dua kain putih tanpa identitas duniawi. Ini simbol bahwa manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada gelar, tidak ada pangkat, tidak ada emas atau kebaya mewah.
Ketika para jemaah pulang lalu tampil mencolok, seolah esensi ihram itu luntur di bandara. Yang tampil bukanlah keimanan, melainkan kemasan. Yang dipamerkan bukan kesalehan, melainkan kemewahan. Lalu publik pun bertanya: apakah ini buah dari haji mabrur, atau sekadar tur religi dengan gaya eksklusif?
KH. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menekankan bahwa ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang tidak hanya sah secara hukum fiqih, tetapi juga berdampak secara sosial dan spiritual. Haji yang mabrur, kata beliau, harus tercermin dalam akhlak, kerendahan hati, dan kepedulian sosial setelah pulang dari Tanah Suci.
Tentu, disini kita tak ingin serta-merta menyalahkan tradisi daerah. Apresiasi terhadap jemaah haji adalah hal wajar. Namun, apresiasi itu seharusnya tak bertransformasi menjadi festival kemewahan. Jika benar sebagian perhiasan itu hanyalah aksesoris dan gaun dibeli murah di Madinah, tetap saja esensinya perlu dikaji ulang. Mengapa harus tampil mencolok? Untuk siapa pesannya disampaikan?
Umat Islam di Indonesia sudah terlalu sering terjebak pada kemasan keagamaan yang semu. Gamis tapi kasar, jilbab tapi doyan menghujat, haji tapi pamer harta dan masih banyak contoh lainnya.
Saatnya kita kembali ke inti: bahwa spiritualitas tak perlu diperlihatkan, cukup dirasakan. Fenomena viral ini seharusnya menjadi cermin, bukan bahan tertawaan. Cermin bahwa masyarakat kita masih lebih memuja simbol daripada substansi. Bahwa kadang, perjalanan suci tak diakhiri dengan ketulusan, tapi dengan pesta kostum.
Akhirnya, semoga para jemaah haji yang pulang, apa pun bentuk penampilannya, benar-benar membawa haji yang mabrur, yakni haji yang mengubah akhlak, bukan hanya gaya. Karena kemabruran bukan dinilai dari emas yang dikenakan, melainkan dari kesalehan yang dijalankan.
Penulis: Nafi’atul Ummah/Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU)